BandungKlik – Kuda lumping, bagi masyarakat awam, dikenal karena atraksi menghibur makan beling yang dilakukan para pemainnya. Namun, ternyata kesenian ini tak hanya sekadar makan beling. Ada kisah dan nilai filosofis yang terkandung di dalamnya.

Berkembang di Pulau Jawa, kuda lumping  sudah lama tumbuh dan berkembang di berbagai daerah di Jawa Tengah. Daerah tersebut antara lain Semarang, Kendal, Pekalongan, Batang, Pemalang, Tegal, Temanggung, Magelang, dan Wonosobo dengan ciri khasnya masing-masing.

Kesenian kuda lumping awalnya dikenal sebagai kesenian jathilan kemudian jaran kepang. Namun, nama kuda lumping lebih populer secara nasional.

Jathil mengandung arti menimbulkan gerak refleks melonjak sebagai tanda memperoleh kebahagiaan. Lantas, mengapa jaran kepang? Sebab, tarian ini menggunakan alat peraga berupa jaranan (kuda-kudaan) yang bahannya terbuat dari kepang (bambu yang dianyam). Di sisi lain, lumping berarti kulit atau kulit bambu yang dianyam.

Mengutip laman kemdikbud.go.id, mulanya jaran kepang bukanlah sebuah seni pertunjukan. Bukan pula kesenian karena zaman dulu belum dikenal istilah kesenian. Lantas, apa itu jaran kepang atau kuda lumping?

Jaran kepang adalah bagian dari ritual yang dilakukan oleh masyarakat Jawa. Ritual tersebut antara lain menolak bala, mengatasi berbagai musibah, meminta kesuburan lahan pertanian, mengharap keberhasilan panen, dan supaya masyarakat aman dan tenteram.

Pada zaman primitif terdapat kepercayaan bahwa kerusakan lingkungan, wabah penyakit, bencana alam, dan sebagainya terjadi karena kekuatan roh nenek moyang. Seiring waktu, setiap musibah, bencana, dan berbagai masalah dalam kehidupan yang dihubungkan dengan roh nenek moyang itu disusun menjadi serangkaian cerita. Maka, berkembanglah menjadi mitos yang diyakini masyarakat. Masyarakat melakukan upacara (ritus) dengan tujuan agar musibah tak datang lagi.

Pertunjukan kesenian

Dalam perjalanannya, jaran kepang atau kuda lumping berkembang menjadi sebuah kesenian. Biasanya dipertontonkan pada saat acara sedekah desa atau panen raya.

Saat pementasan, tarian kuda lumping menampilkan sekelompok prajurit yang tengah menunggang kuda. Tarian ini menggunakan kuda yang terbuat dari bambu yang dianyam dan didesain menyerupai bentuk kuda. Anyaman kuda tersebut dihias dengan beragam warna cat dan kain beraneka warna.

Prajurit berkuda tak hanya melakukan tarian atau adegan yang harmoni. Akan tetapi, beberapa penampil juga menyuguhkan atraksi kesurupan, kekebalan, dan kekuatan supranatural berbau magis. Misalnya makan beling, mempertontonkan kekebalan tubuh dari deran pecut, berjalan di atas kaca, dan banyak lagi.

Mungkin atraksi-atraksi tersebut merefleksikan kekuatan supranatural yang zaman dulu berkembang di lingkungan kerajaan di Jawa.

Gerakan-gerakan pada tarian kuda lumping juga merefleksikan semangat heroisme dan aspek kemiliteran sebuah pasukan berkuda atau kavaleri. Hal ini tampak dari gerakan-gerakan ritmis, dinamis, dan agresif melalui kibasan anyaman bambu serta menirukan gerakan layaknya seekor kuda di tengah medan tempur. *

Silakan baca:

Bebegig, Topeng Seram dari Alam Ciamis