BandungKlik – Seni teater di Indonesia terus berkembang dan membanggakan. Beberapa kelompok dengan segala prestasinya telah menjadi teater legendaris Indonesia. Teater pun bukan hanya sebagai media hiburan, namun lebih dari itu, pertunjukan teater dapat menjadi media propaganda hingga kritik sosial.
Inilah sejumlah kelompok-kelompok teater legendaris di Indonesia yang sudah malang melintang sejak dulu di dunia seni pertunjukan.
Teater Koma
Teater Koma Indonesia pentas pertama pada 1977 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Nama ‘Koma’ memiliki makna yang merujuk pada harapan agar kelompok teater Indonesia ini terus berkelanjutan, tanpa henti, dan tidak mengenal titik.
Karakter kuat Teater Koma berasal dari proses kreatif yang unik dan selalu berusaha mendekatkan diri dengan masyarakat. Kelompok ini pun dikenal memiliki banyak penggemar setia.
Salah satu karya mereka berjudul “Sampek Engtay”, pernah meraih Hibah Seni Kelola untuk kategori Pentas Keliling. Pertunjukannya sering digelar lebih dari 2 minggu, bahkan pernah lebih dari satu bulan.
Teater Mandiri
Teater Mandiri yang sudah menginjak usia kepala lima ini, didirikan tokoh legendaris teater Indonesia, Putu Wijaya, pada 1971. Karyawan Majalah Tempo dan beberapa seniman yang sering hadir di Taman Ismail Marzuki menjadi generasi pertamanya.
Mereka mempunyai filosofi yakni “Bertolak dari yang ada”, sebuah upaya menerima apa yang ada dan memaksimalkannya demi tujuan bersama. Naskah pertama yang dipentaskan pada 1974 di Taman Ismail Marzuki, berjudul “Aduh”. Kelompok teater ini pun pernah meraih Hibah Seni Kelola 2004 kategori Pentas Keliling, untuk mementaskan “Zoom” di Yogyakarta, Semarang, Surabaya, dan Bali.
Teater Payung Hitam
Teater Payung Hitam dikenal dengan bentuk teater non verbal. Pertama kali berdiri di Bandung pada 1982, didirikan Rachman Sabur. Awalnya, Teater Payung Hitam sering membawakan drama realis karya para penulis Indonesia.
Tapi seiring misi eksplorasi menemukan bentuk ekspresi dan gaya pementasan yang cocok, akhirnya mereka sohor dengan bentuk teater non-verbal. Dengan ciri khas, yaitu minim kata-kata dan lebih sarat akan lambang visual, auditif, dan kinestetik. Mayoritas karya mereka bersifat kritik sosial. Gaya pementasannya pun terbilang unik.
Keunikan itulah yang membawa Teater Payung Hitam memenangkan beberapa kali Hibah Seni dari Yayasan Kelola. Bahkan karyanya berjudul “Katakitamati” didokumentasikan Curriculum Corporation untuk digunakan sebagai media pendidikan seni di Sekolah Menengah Atas South Victoria, Australia.
Studiklub Teater Bandung
Studiklub Teater Bandung (STB) merupakan kelompok studi teater modern yang membuka ruang belajar bagi banyak seniman teater Indonesia. Didirikan pada 1958 oleh tujuh tokoh, yakni Jim Lim, Suyatna Anirun, Sutardjo A. Wiramihardja, Adrian Kahar, Tin SriKartini, Thio Tjong Gie (Gigo), dan Soeharmono Tjitrosuwarno.
Prestasi mereka pada 2007, pernah meraih penghargaan Anugerah Budaya Kota Bandung dari Pemerintah Kota Bandung dan Bandung Art & Culture Council, atas jasa dan pengabdiannya dalam mengharumkan nama Kota Bandung.
Sebelumnya juga pernah meraih Hibah Seni Kelola 2003 kategori Pentas Keliling untuk pementasan “Tabib Gadungan”. Prestasi tersebut membawa STB pentas di Yogyakarta, Surabaya, dan Surakarta. Kemudian 2008, STB mendapat piagam Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI) sebagai kelompok teater modern pertama dan tertua yang masih eksis pentas.
Teater Satu Lampung
Berdiri 1996 di Lampung dan termasuk salah satu kelompok yang cukup legendaris serta produktif. Pendirinya yaitu Iswadi Pratama dan Imas Sobariah. Naskah-naskah yang dibawakan campuran antara karya sendiri maupun karya penulis ternama, mulai dari Samuel Beckett hingga Arifin C. Noer.
Silakan baca: Kuda Renggong Menari di Atas Kaki Sendiri
Tahun 2000, Teater Satu meraih Hibah Seni Kelola dalam kategori Pentas Keliling untuk pementasan lakon “Menunggu Godot”. Hingga mampu pentas di Yogyakarta, Solo, Tasikmalaya, dan Bandung. Juga berhasil menyabet gelar Teater Terbaik Indonesia versi Majalah Tempo pada 2008 dan 2012. Selain itu, pernah berkesempatan untuk kolaborasi dengan penulis Australia, Sandra Thibodeaux dalam pertunjukan “The Age of Bones” yang ditampilkan di Indonesia dan Australia.
Teater Garasi Yogyakarta
Teater Garasi Yogyakarta dianggap sebagai laboratorium penciptaan teater yang mewadahi seniman. Di masa yang sama, teater Indonesia lain semasanya lebih banyak mementaskan naskah mengenai kritik, tapi Teater Garasi lebih memilih tema yang lebih sederhana. Sejak 1999, Teater Garasi melepaskan diri dari kampus sebagai kelompok teater dan berkarya sendiri pada seni pertunjukan eksperimental.
Sepanjang kiprahnya, Teater Garasi banyak melahirkan karya-karya estetik dengan tema yang dekat dengan kenyataan sosial masyarakat. Pada 2004, mereka berhasil meraih Hibah Seni Kelola untuk kategori karya inovatif.
Teater Gandrik Jogja
Terakhir ada Teater Gandrik Jogja yang terbentuk sejak 1983. Pendirinya Jujuk Prabowo Heru Kesawa Murti, Susila Nugroho, Sepnu Heryanto, dan Novi Budianto. Ciri khas teater ini, kuat dengan gaya pementasan menyindir secara halus, atau mengkritik orang lain dengan jalan mengejek diri sendiri. Kuatnya lingkungan tradisi (Jawa) ini membawa warna tersendiri dalam karya-karya mereka.
Kehadiran Butet Kartaredjasa, Djaduk Ferianto, dan Whani Darmawan semakin menambah karakter Teater Gandrik. Model kritik guyon parikena dan semangat mengolah bentuk-bentuk teater tradisional dalam bentuk pementasan teater modern, menjadi orisinalitas kelompok teater tersebut. Bahkan Teater Gandrik sering disebut kelompok yang mengembangkan estetika sampakan.*