BandungKlik – Arsitektur Jengki merupakan gaya bangunan asli Indonesia sebagai simbol perjuangan pascakolonial. Serta memberikan warna baru pada arsitektur Indonesia, setelah ratusan tahun didominasi corak kolonial Belanda.

Gaya yang populer di era 1950 – 1970 tersebut, muncul setelah para arsitek dari Belanda meninggalkan Indonesia. Sejak itulah, karya-karya arsitek Indonesia bermunculan dan mendorong lulusan STM yang pernah menjadi aannemer (ahli bangunan) di perusahaan Belanda untuk bekerja di bidang konstruksi.

Secara umum, gaya Jengki termasuk pada arsitektur pascamodern. Pertama kali hadir pada rumah-rumah kelas menengah di kota satelit baru, yakni Kebayoran Baru, pada 1955.

Penerapan gaya ini merupakan keinginan dari Presiden Soekarnao. Hingga akhirnya tersebar di banyak wilayah Indonesia.

Silakan baca: Deretan Rumah Adat Nusantara dengan Arsitektur Ikonik

Arsitektur Jengki dianggap sebagai interpretasi tropis dari gaya rumah-rumah modernis pinggir kota di Amerika pascaperang. Johan Silas, seorang arsitek Indonesia, berspekulasi bahwa gaya ini adalah ekspresi semangat kebebasan orang Indonesia.

Selain itu, juga dinilai memiliki karakteristik dan fungsi yang cocok dengan negara tropis. Pasalnya, pengaturan sirkulasi, bangunan yang mendukung akses cahaya, dan ornamen tumbuh-tumbuhan sangat sesuai dengan iklim di Indonesia.

Ciri khasnya tampak pada atap pelana dan perisai mempunyai perbedaan tinggi. Atap ini membentuk sistem ventilasi yang memudahkan udara sejuk masuk ke dalam bangunan.

Kemudian dari sisi dinding, memiliki corak dengan efek timbul yang memanfaatkan batu alam. Sehingga memberikan kesan alami dan lebih santai.

Silakan baca: Kasepuhan Cipta Mulya, Tetap Menjaga Tradisi Leluhur

Pada dasarnya, di dalam gaya arsitektur Jengki terdapat tiga elemen, yakni tradisional, modern, dan indies. Ketiganya berpadu dan menghasilkan bangunan-bangunan unik yang tampak modern dan artsy.*

 

 

Sumber & Foto: @kemenparekraf.ri